Wednesday, October 1, 2014

SD di Jepang : Sehat, Mandiri dan Ceria

Usia 6 Tahun mempunyai banyak makna di Negeri Sakura. Bisa dikatakan merupakan batu loncatan pertama dari kanak-kanak ke fase baru yang lebih menantang, dengan kewajiban serta kemandirian yang lebih tinggi. Seorang anak boleh melanjutkan ke SD atau shougakkou jika pada tanggal 1 April usianya sudah 6 tahun. Peraturan terkait batas umur ini ketat sekali, kurang 1 hari saja tidak diperbolehkan untuk masuk.

Siswa kelas 1 SD ini disebut ichi nensei (tahun pertama). Merupakan suatu "pangkat" yang istimewa. Mereka mulai memakai randoseru, sejenis tas ransel khusus khas Jepang yang harga normal berkisar 50-80 ribu yen (5-8 juta rupiah). Budayanya nenek-kakeklah yang berkewajiban membelikan sebagai hadiah :).Memang terbilang mahal, tapi umumnya kualitas bagus dan garansi selama 6 tahun. Jadi merupakan hal yang sangat wajar jika ransel anak SD di Jepang selama 6 tahun tidak pernah ganti. Bahkan, saat mereka lulus pun kualitas tas ransel ini masih bagus, sehingga tak jarang masih bisa di jual di recycle shop.

sumber foto randoseru
Seorang anak SD akan berangkat sekolah sendiri tanpa diantar-jemput orang tua, tetapi mereka harus bersama-sama siswa lain yang rumahnya berdekatan. Anak-anak dikelompokkan menjadi grup dan sekolah telah menentukan tempat bertemunya mereka dipagi hari. Yang menjadi ketua rombongan adalah anak kelas tertinggi yang ada dalam grup tersebut, biasanya siswa kelas 6. Sekitar 2 minggu sebelum hari pertama sekolah, Anak saya sudah mendapat kartu pos dari siswa kelas 6 yang berisi ajakan berangkat sekolah bersama dan tertera jam serta tempat dimana harus kumpul, (hebat ya :)).

Salah satu spot, tempat kumpul untuk kemudian bersama-sama ke Sekolah dalam barisan yang rapi.
Untuk keamanan, anak SD diwajibkan selalu membawa -bouhan bozai-, yaitu sebuah alat sejenis alarm gantung yang jika ditekan akan mengeluarkan bunyi keras. Anak-anak akan mengaktifkan alarm ini jika ada sesuatu atau seseorang yang mencurigakan atau membahayakan. Jika ada dewasa yang mendengar suara ini, maka diharapkan segera menuju sumber suara dan membantu, atau jika perlu menghubungi pihak berwajib. Khusus untuk anak kelas 1, selama setahun pertama mereka wajib menggunakan topi dan cover kuning pada tas randoserunya (bisa dilihat difoto paling atas :)), yang maksudnya bahwa anak ini masih harus lebih di perhatikan (anak baru-red).
Alarm keamanan atau bohan bouzai, sumber foto di sini
Tingkatan pendidikan di Jepang sama dengan di Indonesia yaitu 6 tahun SD, 3 tahun SMP, tiga tahun SMA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan dasar (SD-SMP) tidak mengenal ujian kenaikan kelas, jadi siswa yang telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas dua, demikian seterusnya. Ujian akhir kelulusan juga tidak ada, sehingga siswa yang telah menyelesaikan studinya di tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP dengan sistem rayon.

Sebenarnya, sifat dan karakteristik kurikulum di Jepang hampir sama dengan kurikulum SD di Indonesia. Hanya yang membedakan adalah pada mata pelajaran kebiasaan hidup yang umumnya diajarkan di kelas 1 dan 2. Tujuan utama diajarkan mata pelajaran ini adalah untuk mengenalkan dan membiasakan anak-anak pada pola hidup mandiri. Anak terbiasa membereskan peralatan belajar sendiri, merapihkan kelas, piket membersihkan toilet (tidak ada petugas kebersihan khusus di sekolah) dan bergiliran menjadi penyedia makan siang teman-teman (tentang makan di sekolah sudah saya tulis di sini). Di sini lebih mendahulukan memperkenalkan tata cara kehidupan sehari-hari.

Kegiatan akademik, umumnya berlangsung dari jam 8 pagi sampai 3 sore. Tetapi biasanya ada pelajaran tambahan untuk siswa kelas 4 ke-atas. Pembelajaran utama seperti bahasa (Jepang) dan berhitung mempunyai porsi yang lebih dibanding pelajaran lainnya. Sedangkan pelajaran moral diajarkan tidak secara khusus dalam mata pelajaran tertentu, tetapi diajarkan oleh wali kelas sejam seminggu atau diintegrasikan melalui pelajaran lain. Para murid juga disibukkan dengan pendidikan bersifat estetik berupa musik dan menggambar, jadi wajar saja anak Jepang dari kecil skill menggambar dan bermain musik rata-rata sudah bagus (bukan hanya bisa menggambar 2 gunung legendaris seperti saya hehe). Begitu juga dengan kegiatan olahraga, porsi nya sangat besar. Hampir tiap hari anak didik diberikan mata pelajaran tersebut. Mungkin ini juga yang membuat anak Jepang jarang yang obesitas, selain pola makan yang sehat. Dimusim panas, olahraga lebih sering berupa berenang, hampir setiap hari. oiya, rata-rata SD di jepang mempunyai kolam renang sendiri lho!

Lapangan olahraga yang luas



Ruang kelas tidak kaku, tidak ada foto presiden atau pejabat lainnya. Di setiap dinding hampir semua di tempel dengan hasil karya anak-anak, daftar piket makan, kosa kata bahasa jepang, juga ada perpustakaan mini dan beberapa tumbuhan hidup untuk sarana belajar.

Suasana dalam kelas, posisi kursi-meja bisa di ubah, semua menghadap kedepan atau berkelompok
Yang tak kalah menyenangkan, kegiatan belajar tidak hanya di dalam kelas. Secara berkala mereka mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan lahan pertanian atau perkebunan untuk belajar memetik teh, jeruk, menggali umbi-umbian, bahkan belajar menanam padi di sawah (biasa nya di daerah luar Tokyo). Anak saya sampai hafal banyak jenis serangga dan tak jijik atau takut memegangnya. Dilain waktu, siswa secara berkelompok diajarkan cara menumpang kereta (densha) untuk melatih kemandirian.

Selain itu ada kegiatan wawancara dengan orang-orang tertentu sebagai narasumber, bisa tetangga atau orang-orang yang lewat di jalan. Saya pernah melihat anak sekolah yang sedang mewancarai turis. Semua percaya diri, tak terlihat malu-malu dan pihak yang diwawancarai pun menjawab dengan serius, walau pewawancara hanyalah anak kecil, hebat!. O iya, anak-anak ini dari kelas 1 sudah dibiasakan untuk "berbicara" baik di tempat duduk maupun maju ke depan. Ini adalah hal yang saya catat baik-baik ketika datang ke sekolah. Ada sesi yang mana sensei menyebutkan sesuatu atau menanyakan sesuatu dan setelahnya hampir semua anak menunjuk tangan, tanda ingin menjawab. Setiap ada pertanyaan, selalu begitu. Semua berteriak : "haaik" seraya menunjuk tangan. Tidak penting jawabannya benar atau tidak. Sungguh membuat saya berdecak kagum, teringat kala sekolah dulu, jarang sekali saya dan teman-teman sekelas berani menjawab, bahkan lebih sering menunduk dalam-dalam agar tidak ditunjuk oleh guru :p. Dilain waktu siswa juga mendapat tugas membuat penelitian-penelitian kecil untuk dipresentasikan di depan kelas.

Tugas liburan pun umumnya yang merangsang kreativitas dan tanggung jawab, misalnya merawat tanaman bunga "asagao" yang harus ditulis perkembangannya, berkreasi dengan barang bekas, meminjam dan membaca buku di perpustakaan dan banyak kegiatan seru lainnya.

Intinya bermain sambil belajar : Sehat, Mandiri dan Ceria :)


6 comments:

  1. Wah aku baru tau mbak kalo di SD mereka diajarin utk aktif di kelas kalo ada pertanyaan dari guru. Tapi di kuliahan kok beda banget ya. Selama aku kuliah di Waseda mahasiswanya diem semua di kelas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. oh iya ya sha? tapi kayaknya mulai sma keatas mereka udah mulai jaim yak. udah mulai ber-geng/ berkelompok.

      klo SD masih pada seru, terbukti saat ngajar tpa/iqro yg anak2nya msh SD, masih pada suka rebutan nunjuk tangan klo disuruh maju utk hafalan hehe

      Delete
  2. Wah bagus sekali tulisannya ya.
    Sangat informatif

    ReplyDelete
  3. Kalau di Indonesia, SD Negeri harus 7 tahun, mbak Lusi, nggak boleh kurang :)
    Btw, sekolah di Jepang memang bagus ya, jadi pengen suatu saat nanti kalau ada rejeki anak-anak kuliah di sana :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. oh iya 7 tahun ya mbak?
      klo swasta yg boleh lebih muda ya. Aamiin. salam kenal ya mak :)

      Delete